Oleh: Ach. Fais, S.H, Advokat & Konsultan Hukum

Ketika sebagian orang memperdebatkan boleh tidaknya dana APBN digunakan untuk membangun ulang Pondok Pesantren Al-Khoziny Buduran, Sidoarjo, kita seakan lupa bahwa pesantren inilah dan pesantren-pesantren sejenis yang jauh sebelum republik berdiri telah menyalakan obor pendidikan, moral, dan kebangsaan di negeri ini.

Pondok Pesantren Al-Khoziny bukanlah lembaga baru. Berdiri sejak tahun 1920-an, pesantren ini menjadi saksi hidup perjalanan panjang pendidikan Islam salaf di Indonesia. Selama lebih dari seabad, pesantren ini bertahan tanpa pernah mengandalkan dana pemerintah, hanya mengandalkan swadaya wali santri, iuran bulanan, dan gotong royong masyarakat.

Tragisnya, bangunan pesantren ini ambruk dan menelan puluhan korban jiwa. Tragedi ini seharusnya menjadi momentum refleksi nasional bukan untuk mencari siapa yang salah, melainkan untuk bertanya: di mana negara ketika lembaga Pendidikan pesantren tua ini membutuhkan kehadirannya?

Pesantren, Fondasi Pendidikan Jauh Sebelum Republik Berdiri

Jauh sebelum ada Kementerian Pendidikan dan Kementrian Agama, para kiai pesantren sudah mendidik generasi bangsa dengan nilai agama, akhlak, dan nasionalisme. Pesantren menjadi sistem pendidikan paling mandiri yang menanamkan karakter “membangun dari bawah”.

Namun, berbeda dengan sekolah negeri atau madrasah formal, pesantren salaf seperti Al-Khoziny nihil dukungan pembangunan dari APBN. Selama ini, mereka membangun ruang belajar, asrama, dan masjid dengan uang yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari wali santri dan masyarakat. Karena itu, ketika bangunannya ambruk, pemerintah wajib hadir. Bukan karena belas kasihan, tetapi karena tanggung jawab moral dan hukum.

Dasar Hukum: Kewajiban Negara Terhadap Pesantren

Keterlibatan pemerintah dalam pembangunan kembali Pondok Pesantren Al-Khoziny memiliki landasan hukum yang sangat kuat. Pertama, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren secara eksplisit mengakui pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang berhak atas dukungan negara.

Pasal 49 UU tersebut menyatakan bahwa pemerintah wajib memfasilitasi pesantren dalam penyelenggaraan fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, dalam praktiknya, pemerintah sudah memiliki program Bantuan Operasional Pesantren (BOP) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan Keagamaan yang bersumber dari APBN. Maka, penggunaan APBN untuk membangun ulang pesantren bukan hal baru melainkan implementasi konkret dari mandat undang-undang.

Dengan dasar itu, pemerintah pusat sah dan pantas menggunakan dana APBN untuk membangun kembali pondok pesantren yang telah berjasa bagi bangsa ini.

Bahwa, pandangan dari sebagian kalangan politik yang menolak bantuan APBN dengan alasan dapat menimbulkan “kecemburuan sosial” antar-pesantren. Pandangan ini terlalu sempit dan tidak berdasar. Bantuan negara terhadap lembaga pendidikan yang tertimpah musibah adalah tindakan kemanusiaan, bukan favoritisme. Logikanya sama seperti ketika sekolah negeri roboh akibat bencana alam pemerintah pasti turun tangan memperbaiki. Maka, mengapa standar yang sama tidak berlaku untuk pesantren?

Selain itu, bantuan APBN untuk membangun ulang pondok pesantren tidak akan menghapus kemandirian pesantren. Justru, ini bentuk dukungan solidaritas negara agar pesantren dapat kembali menjalankan fungsi pendidikan dan dakwahnya dengan layak dan aman.

Tragedi ini juga membuka fakta bahwa selama ini banyak pesantren salaf tidak mendapat pembinaan dan pengawasan teknis dari pemerintah, terutama dalam hal keamanan bangunan dan kelayakan fasilitas. Padahal, Pasal 5 ayat (3) UU Pesantren dengan jelas menyebutkan: “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi pesantren dalam bentuk bantuan, kemudahan, dan perlindungan.” Artinya, jika pesantren membangun dengan swadaya tanpa pengawasan, kelalaian justru ada di pihak pemerintah yang tidak proaktif melindungi lembaga pendidikan tradisional.

Pesantren Adalah Aset Bangsa, membangun ulang dan menegakkan Keadilan

Menolak bantuan negara terhadap pesantren seperti Al-Khoziny sama saja menafikan sejarah bangsa sendiri. Pesantren adalah bagian dari perjalanan panjang kemerdekaan, penjaga nilai moral, dan fondasi karakter bangsa. Negara tidak boleh hanya hadir di gedung-gedung megah sekolah negeri, tetapi juga harus hadir di pondok-pondok sederhana yang telah mencetak generasi ulama dan pendidik sejak sebelum Indonesia merdeka.

Membangun kembali Pondok Pesantren Al-Khoziny dengan dana APBN bukan bentuk kemurahan hati, melainkan pemenuhan amanat konstitusi dan hukum nasional. Dalam konteks keadilan sosial, ini adalah langkah korektif atas ketidakadilan struktural yang selama ini membuat pesantren tradisional berjalan sendiri tanpa perhatian negara. Karena sejatinya, negara kuat bukan karena banyaknya proyek fisik, tetapi karena hadirnya negara di tengah rakyat yang paling lama berjuang tanpa pamrih untuk mencerdaskan kehidupan dan pembangunan moral bangsa.

Tentang Penulis:

Ach.Fais,S.H, adalah Advokat & Konsultan Hukum, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Jember.

By RIcky

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *